Skincare Retail Therapy Gone Bad


by Glow Necessities
Skincare Retail Therapy Gone Bad
Andy Warhol & Model Jane Forth circa 1970, Courtesy of Jack Mitchell/Getty Images

Sebuah cerita dari penulis kontributor artikel kami yang memilih untuk tetap anonim.

Ketika beberapa tahun lalu industri produk skincare sedang dalam puncak kejayaannya, membaca review produk skincare—baik dari yang ada di YouTube maupun di berbagai website—serta keinginan untuk mengisi rak kabinet kosong di kamar itu terasa seperti hal yang lumrah. "Mengoleksi ini kan membuat diriku senang", atau "Halah, tidak apa-apa pasti terpakai kok", di saat itu ketika setiap rilisan baru produk skincare terasa exciting, dan mendengarkan review pengalaman memakai skincare oleh orang-orang sebagai background noise dengan headset sambil mengerjakan tugas 9-to-5 dengan jam kerja lebih dari 40 jam dalam seminggu merupakan sedikit pelarian yang menenangkan.

Akan tetapi, pandemi pun datang setahun yang lalu dari tanggal ditulisnya artikel ini, dan tiba-tiba saya, keluarga, dan kawan-kawan sejawat menjalani pengalaman—atau musibah—yang sama. Kegiatan memakai skincare sambil browsing social media yang awalnya sebagai bagian ritual relaksasi dalam mengakhiri hari karena dengan memakai skincare seakan memberi kesan yang mengingatkan betapa nyamannya kamar tidur di rumah setiap selesai beraktivitas lembur sehari-hari ini sejak pandemi mulai terasa kehilangan tujuannya.

Sejak karantina di rumah saja untuk tetap ter-update dengan informasi COVID-19 dengan hampir setiap menit dihabiskan me-refresh halaman Worldometers sambil melihat pos-pos di TikTok atau Instagram, segala bentuk pertunjukan konsumerisme, pesta dan budaya iming-iming ini kini tidak lagi terasa sebagai kegiatan yang menginspirasi—at least for me—dan untuk tetap bisa survive, sehat & memiliki privilege bisa melanjutkan pekerjaan di rumah saja adalah hal yang patut disyukuri. Hempas segala keinginan dan obsesi untuk tampil seperti ‘orang jadi’, tampilan aspirational berkesan spontan namun aslinya sudah diatur sedemikian rupa atau dandan maksimal. “Kan ya tidak ada yang melihat saat di rumah saja” dalam benak saya. Belanja online dan melihat orang asing berdansa di social media atau yang sekadar mengingatkan bagaimana cara menjalani hidup ‘yang benar’ sesuai versi mereka tidak lagi terasa sebagai bentuk pelarian yang merawat diri (self-care) dari berbagai pengalaman buruk yang terjadi di dunia nyata karena kini segala hal yang dilakukan secara virtual telah menjadi bagian dari realita sehari-hari saya dan kebanyakan orang.

Pada momen di mana saya mengamati tumpukan kosmetik di kabinet yang satu-persatu memasuki masa kadarluwarsanya—terutama sunscreen yang 90% tidak terpakai selama di rumah saja—dan produk-produk yang terbeli saat kalap ‘racun jajan’ iklan, mulailah saya melihat bagaimana bermasalahnya pola belanja saya. Walaupun produk tersebut dapat dijual bekas (preloved) agar diri sendiri tidak merasa boros karena setidaknya ada orang lain yang membutuhkan dapat menikmati manfaatnya pada harga lebih rendah, saya merasa masih kurang nyaman untuk menjual produk kosmetik bekas mengingat protokol kesehatan selama pandemi.

Walaupun memakai skincare terkadang memberi perasaan bahwa saya setidaknya memiliki satu hal yang masih dapat saya kendalikan di kondisi yang tidak pasti seperti pandemi, fakta terburuk pun terjadi: di awal Februari 2021 saya kehilangan salah satu orang terdekat saya karena COVID-19. Di kondisi yang mana membuat langkah terasa terseret bahkan untuk bangun dari tempat tidur saja ataupun menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk—menghabiskan belasan botol pipet koleksi serum adalah hal terakhir yang dapat muncul di benak saya selama fase keterpurukan ini. And to my surprise, my skin has never been better with a simpler routine—hanya cleanser, toner, moisturizer dan sesekali exfoliant—yang mungkin juga dipengaruhi karena berkurangnya stress tekanan pekerjaan dan paparan polusi selama bekerja dari rumah. 

Courtesy of Youtube/Laura Lee

Saya tahu bahwa ini merupakan bagian dari profesi beberapa kalangan dan saya juga tidak punya hak untuk me-judge apa yang merupakan hobi dari tiap orang, tapi yang jelas ini bukan lagi gaya hidup yang sustainable untuk saya ikuti dalam jangka panjangnya. Saya jujur tidak tahu perasaan apa yang terbendung dalam diri saya setiap kali melihat pihak yang selama pandemi melakukan haul dan ‘bersih-bersih’ produk kosmetik hasil over-konsumsi dengan segala dopamine yang dirasakan saat menerima paket. Namun demikian, setidaknya yang dapat saya petik dari pengalaman pasca pandemi ini adalah: kondisi kulit saya dan produk yang saya pakai bukanlah indikator jati diri saya.

At the end of the day, skincare—atau consumer goods in general—hanyalah salah satu instrumen untuk mencapai tujuan merawat kesehatan sepanjang mungkin. Merawat diri bagi kesehatan mental dan diri saya selama pandemi seperti makan sajian se-lezat yang bisa saya dapatkan, masih dapat tidur nyenyak, dapat mengobrol lagi dengan teman-teman dekat walau hanya melalui virtual meeting atau main game sepuasnya, memberi suatu pencerahan bagi mindset saya—setidaknya dalam beberapa saat ini—untuk tidak setiap saat FOMO dan YOLO dengan self-care yang harus dalam wujud menumpuk sekian jenis produk yang memiliki fungsi hampir sama satu dengan lainnya—yang walaupun memang baik untuk keberlangsungan industri kosmetik—yang bukan merupakan solusi yang selalu tepat untuk kebutuhan kulit yang unik setiap individunya.